Senin, 31 Desember 2012

Hakikat Wacana Bahasa Indonesia

                                                                                Selamat Membaca Semoga Bermanfaat


Pada hakikatnya wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif kompleks dan paling lengkap. Artinya wacana didukung oleh satuan-satuan bahasa yang meliputi: fonem, morfem, kata, frasa, kalimat, paragraf hingga karangan utuh. Adapun tujuan umum mempelajari wacana adalah untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa yang baik dan benar.

1. Pengertian Wacana
  • Secara etimologi istilah "wacana" berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak, artinya berkata berucap (Douglas, 1976:262). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa sansekerta, termasuk kata kerja III parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Jadi wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.  
  • Sobur Alex (2001) mengemukakan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. 
  •  Dalam Kamus Besar Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989: 651), terdapat kata waca yang berarti "baca" kata u/amaca yang artinya "membaca" pamacam (pembacaan) ang/mawacana (berkata) wacaka (mengucapkan) dan wacana yang artinya "perkataan". 
  • Dalam dunia pendidikan formal, istilah wacana banyak digunakan sebagai nama badan atau sekolah, misalnya: Dharma Wacana, Satya Wacana, Widya Wacana dan sebagainya. Pemakaian kata wacana di belakang istilah-istilah tersebut mengandung moto, janji, atau perkataan yang dapat dipercaya. Dari berbagai uraian di atas, istilah wacana dapat dimaknai sebagai ucapan, perkataan, bacaan, yang bersifat konstekstual. 
  • Di sisi lain, istilah wacana diartikan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris "discourse" (Dede Oetomo, 1991:3). Kata discourse berasal dari bahasa latin "discursus" yang berarti "lari ke sana ke mari" atau "lari bolak-balik". Kata ini diturunkan dari "dis" (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Jadi discursus berarti "lari dari arah yang berbeda". Perkembangan asal usul kata itu dapat digambarkan sabagai berikut: dis + currere -  discursus -   discourse (wacana) 
  • Menurut Webster (1983:522), memperluas makna discourse sebagai: komunikasi kata-kata, ekspresi gagasan-gagasan, risalah tulis, ceramah, dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tulisan. Istilah discourse ini selanjutnya digunakan oleh para hali bahasa dalam kajian linguistik, sehingga kemudian dikenal istilah discourse  analysis (analisis wacana). 
  • Unsur pembeda antara "bentuk wacana" dengan "bentuk bukan wacana" adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karena itu, kriteria yang paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Contoh : "Bang ! baso, mie ayam dua .." Ucapan ini dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap. Maksudnya ialah antara penutur dengan petutur saling memahami tuturan tersebut. Hal ini sangat bergantung dengan konteksnya. 
  • Anton M. Moeliono (1988:334), menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal yang terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh yang membawa amanat lengkap (Harimurti Kridalaksana, 1984:208).
  • Menurut HG. Tarigan (1987:27) wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, dapat disebut wacana atau bukan wacana bergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya. 
 
2. Kedudukan Wacana dalam Satuan Kebahasaan 
 
Dalam satuan kebahasaan atau hierarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurti Kridalaksana, 1983:334). Hal ini disebabkan karena wacana sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik yang mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi. Kajian wacana akan selalu berkaitan dengan unsur-unsur kebahasaan yang dibawahnya, seperti fonem, morfem, kata, frasa, klausa, atau kalimat. 
 
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa makna wacana memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Wacana tidak hanya diartikan sebuah teks ataupun  simbol tertentu, melainkan tuturan pun dapat dikatakan sebuah wacana asalkan ada penerima pesan, pesan, dan pemberi pesan. Hal ini syarat akan konteksnya.  

 
                                                                                                                                    Regard

 
                                                                                                                                  Charmilah


Sumber: Teori dan Kajian Wacana Bahasa Indonesia, Prof. Dr. E. Zaenal Arifin, dkk.




1 komentar: